Menjalin Cinta Abadi Dalam Rumah
Tangga
Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan
kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini
sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini
merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah
Ta’ala berfirman,
}ﺯُﻳِّﻦَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﺣُﺐُّ ﺍﻟﺸَّﻬَﻮَﺍﺕِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﺒَﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻘَﻨَﺎﻃِﻴﺮِ ﺍﻟْﻤُﻘَﻨْﻄَﺮَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬَّﻫَﺐِ ﻭَﺍﻟْﻔِﻀَّﺔِ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﻞِ ﺍﻟْﻤُﺴَﻮَّﻣَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﻌَﺎﻡِ
ﻭَﺍﻟْﺤَﺮْﺙِ ﺫَﻟِﻚَ ﻣَﺘَﺎﻉُ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺣُﺴْﻦُ ﺍﻟْﻤَﺂﺏِ {
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga) ” (QS Ali ‘Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga
merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam
kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻭْﻻﺩِﻛُﻢْ ﻋَﺪُﻭّﺍً ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺎﺣْﺬَﺭُﻭﻫُﻢْ {
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu ” adalah melalaikan kamu dari melakukan
amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat
kepada Allah Ta’ala [1] .
Salah Menempatkan Arti Cinta dan Kasih Sayang
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih
sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan
mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam,
yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan
hidup mereka sendiri.
Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan
anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-
hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka
menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang
dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk
(selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-
Nya…” [2] .
Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar
menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari
kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia
tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya,
karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ ﺃﻻ ﻛﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺌﻮﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘﻪ، … ﻭﺍﻟﺮﺟﻞ ﺭﺍﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﺴﺌﻮﻝ ﻋﻨﻬﻢ”
“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami
adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban
tentang (perbuatan) mereka “[3] .
Cinta sejati yang abadi
Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri
dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang
sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi
kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih
penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap
pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an
dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah bukti cinta dan
kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang
bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus
kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭﺍً ﻭَﻗُﻮﺩُﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓُ {
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas
berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan
keluargamu”[4] .
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka)
adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan
yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan
anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan
kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk
(melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat
(dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah
Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang
dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya” [5] .
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma
sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan
membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan
sedekah?” [6] .
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah
bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab
yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu
yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal
yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani
kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7] .
Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan
melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan
kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan
banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara
dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama
keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum,
termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat
manusia ? Allah Ta’ala berfirman,
} ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ ﻓَﺒِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ ﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻌْﻔُﻮ ﻋَﻦْ ﻛَﺜِﻴﺮٍ {
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu) ” (QS asy-Syuura:30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan,
“Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat
(pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku
istriku… “[8] .
Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap
keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya
dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata,
serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam
ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
} ﺍﻟْﺄَﺧِﻠَّﺎﺀُ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﻟِﺒَﻌْﺾٍ ﻋَﺪُﻭٌّ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ {
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi
musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-
Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia
yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian
dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih
sayang karena-Nya [9] .
Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba
–dengan izin Allah Ta’ala – akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya
kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan
hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang
menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah
Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka
mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,
} ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻫَﺐْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻨَﺎ ﻭَﺫُﺭِّﻳَّﺎﺗِﻨَﺎ ﻗُﺮَّﺓَ ﺃَﻋْﻴُﻦٍ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ﺇِﻣَﺎﻣﺎً {
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai
penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertakwa ” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau
berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada
diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka)
kepada Allah. D emi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan
pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu,
saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala “[10] .
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia
senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun
keluarga kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami
sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa
ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺑﺎﺭﻙ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ، ﻭﺁﺧﺮ ﺩﻋﻮﺍﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 25 Rabi’ul akhir 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).
[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan
oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[6] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[7] Fathul Baari (3/355).
[8] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).
[9] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).
[10] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).
Tangga
Setiap orang yang telah berkeluarga, tentu menginginkan kebaikan dan
kebahagiaan dalam kehidupannya bersama istri dan anak-anaknya. Hal ini
sebagai perwujudan rasa cintanya kepada mereka, yang kecintaan ini
merupakan fitrah yang Allah tetapkan pada jiwa setiap manusia. Allah
Ta’ala berfirman,
}ﺯُﻳِّﻦَ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﺣُﺐُّ ﺍﻟﺸَّﻬَﻮَﺍﺕِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﺒَﻨِﻴﻦَ ﻭَﺍﻟْﻘَﻨَﺎﻃِﻴﺮِ ﺍﻟْﻤُﻘَﻨْﻄَﺮَﺓِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬَّﻫَﺐِ ﻭَﺍﻟْﻔِﻀَّﺔِ ﻭَﺍﻟْﺨَﻴْﻞِ ﺍﻟْﻤُﺴَﻮَّﻣَﺔِ ﻭَﺍﻟْﺄَﻧْﻌَﺎﻡِ
ﻭَﺍﻟْﺤَﺮْﺙِ ﺫَﻟِﻚَ ﻣَﺘَﺎﻉُ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺣُﺴْﻦُ ﺍﻟْﻤَﺂﺏِ {
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa
yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang
baik (surga) ” (QS Ali ‘Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga
merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam
kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻭْﻻﺩِﻛُﻢْ ﻋَﺪُﻭّﺍً ﻟَﻜُﻢْ ﻓَﺎﺣْﺬَﺭُﻭﻫُﻢْ {
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Makna “menjadi musuh bagimu ” adalah melalaikan kamu dari melakukan
amal shaleh dan bisa menjerumuskanmu ke dalam perbuatan maksiat
kepada Allah Ta’ala [1] .
Salah Menempatkan Arti Cinta dan Kasih Sayang
Kita dapati kebanyakan orang salah menempatkan arti cinta dan kasih
sayang kepada istri dan anak-anaknya, dengan menuruti semua keinginan
mereka meskipun dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam,
yang pada gilirannya justru akan mencelakakan dan merusak kebahagiaan
hidup mereka sendiri.
Sewaktu menafsirkan ayat tersebut di atas, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di
berkata: “…Karena jiwa manusia memiliki fitrah untuk cinta kepada istri dan
anak-anak, maka (dalam ayat ini) Allah Ta’ala memperingatkan hamba-
hamba-Nya agar (jangan sampai) kecintaan ini menjadikan mereka
menuruti semua keinginan istri dan anak-anak mereka dalam hal-hal yang
dilarang dalam syariat. Allah telah memotivasi hamba-hamba-Nya untuk
(selalu) melaksanakan perintah-perintah-Nya dan mendahulukan keridhaan-
Nya…” [2] .
Oleh karena itulah, seorang kepala keluarga yang benar-benar
menginginkan kebaikan dalam keluarganya hendaknya menyadari
kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangganya, sehingga dia
tidak membiarkan terjadinya penyimpangan syariat dalam keluarganya,
karena semua itu akan ditanggungnya pada hari kiamat kelak. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“ ﺃﻻ ﻛﻠﻜﻢ ﺭﺍﻉ ﻭﻛﻠﻜﻢ ﻣﺴﺌﻮﻝ ﻋﻦ ﺭﻋﻴﺘﻪ، … ﻭﺍﻟﺮﺟﻞ ﺭﺍﻉ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﻣﺴﺌﻮﻝ ﻋﻨﻬﻢ”
“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami
adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban
tentang (perbuatan) mereka “[3] .
Cinta sejati yang abadi
Seorang kepala keluarga yang benar-benar mencintai dan menyayangi istri
dan anak-anaknya hendaknya menyadari bahwa cinta dan kasih sayang
sejati terhadap mereka tidak diwujudkan dengan hanya mencukupi
kebutuhan duniawi dan fasilitas hidup mereka. Akan tetapi yang lebih
penting dari semua itu pemenuhan kebutuhan rohani mereka terhadap
pengajaran dan bimbingan agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur-an
dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Inilah bukti cinta dan
kasih sayang yang sebenarnya, karena diwujudkan dengan sesuatu yang
bermanfaat dan kekal di dunia dan di akhirat nanti.
Karena pentingnya hal ini, Allah Ta’ala mengingatkan secara khusus
kewajiban para kepala keluarga ini dalam firman-Nya,
} ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭﺍً ﻭَﻗُﻮﺩُﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓُ {
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan ayat di atas
berkata, “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu dan
keluargamu”[4] .
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Memelihara diri (dari api neraka)
adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertaubat dari semua perbuatan
yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan
anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan
kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk
(melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat
(dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah
Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang
dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya” [5] .
Demikian juga dalam hadits yang shahih ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang Hasan bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhuma memakan kurma
sedekah, padahal waktu itu Hasan radhiyallahu ‘anhuma masih kecil,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hekh hekh” agar Hasan
membuang kurma tersebut, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keturunannya) tidak boleh memakan
sedekah?” [6] .
Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah
bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab
yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu
yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal
yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani
kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut[7] .
Kemudian, hendaknya seorang kepala keluarga menyadari bahwa dengan
melaksanakan perintah Allah Ta’ala ini, berarti dia telah mengusahakan
kebaikan besar dalam rumah tangga tangganya, yang dengan ini akan
banyak masalah dalam keluarganya yang teratasi, baik masalah di antara
dia dengan istrinya, dengan anak-anaknya ataupun di antara sesama
keluarganya. Bukankah penyebab terjadinya bencana secara umum,
termasuk bencana dalam rumah tangga, adalah perbuatan maksiat
manusia ? Allah Ta’ala berfirman,
} ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻣُﺼِﻴﺒَﺔٍ ﻓَﺒِﻤَﺎ ﻛَﺴَﺒَﺖْ ﺃَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻌْﻔُﻮ ﻋَﻦْ ﻛَﺜِﻴﺮٍ {
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu) ” (QS asy-Syuura:30).
Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan,
“Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat
(pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku
istriku… “[8] .
Dan barangsiapa yang mengharapkan cinta dan kasih sayangnya terhadap
keluarganya kekal abadi di dunia sampai di akhirat nanti, maka hendaknya
dia melandasi cinta dan kasih sayangnya karena Allah semata-semata,
serta mengisinya dengan saling menasehati dan tolong menolong dalam
ketaatan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
} ﺍﻟْﺄَﺧِﻠَّﺎﺀُ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﻟِﺒَﻌْﺾٍ ﻋَﺪُﻭٌّ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ {
“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi
musuh satu sama lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-
Zukhruf:67).
Ayat ini menunjukkan bahwa semua jalinan cinta dan kasih sayang di dunia
yang bukan karena Allah maka di akhirat nanti berubah menjadi kebencian
dan permusuhan, dan yang kekal abadi hanyalah jalinan cinta dan kasih
sayang karena-Nya [9] .
Lebih daripada itu, dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba
–dengan izin Allah Ta’ala – akan melihat pada diri istri dan anak-anaknya
kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya dan menyenangkan
hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang
menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah
Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka
mengucapkan permohonan ini kepada-Nya, dalam firman-Nya,
} ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻫَﺐْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻨَﺎ ﻭَﺫُﺭِّﻳَّﺎﺗِﻨَﺎ ﻗُﺮَّﺓَ ﺃَﻋْﻴُﻦٍ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ﺇِﻣَﺎﻣﺎً {
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami,
anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai
penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertakwa ” (QS al-Furqan:74).
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau
berkata, “Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada
diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka)
kepada Allah. D emi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan
pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu,
saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala “[10] .
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah agar Dia
senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua dalam menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya pada diri kita sendiri maupun
keluarga kita.
Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami
sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertakwa
ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺑﺎﺭﻙ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ، ﻭﺁﺧﺮ ﺩﻋﻮﺍﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 25 Rabi’ul akhir 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/482).
[2] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 637).
[3] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).
[4] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan
oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[6] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[7] Fathul Baari (3/355).
[8] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa’” (hal. 68).
[9] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/170).
[10] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).